KRITIKAN
IDEOLOGI KIRI DAN KRITIKAN WACANA GLOBAL

IHWAN AR


Ada perubahan dalam ritus ideologi yang dilakukan rezim. Pada masa Orde Baru (Orba), menjelang 30 September sampai 1 Oktober, rakyat dipaksa melakukan rekonstruksi ideologis yang dilakukan penguasa. Peristiwa G30S/1965 merupakan alat bagi rezim Orba untuk melakukan ritus itu.
Rekonstruksi dan ritus itu bagi penguasa bermakna sebagai; Pertama, pembaruan dan reproduksi legitimasi bagi kekuasaannya. Dalam pembentukan legitimasi itu, sebagaimana dikemukakan Michael Langenberg, penguasa Orba tidak segan-segan memcah sejarah bangsa dengan paradigma orde, yaitu Orde Lama (Orla) yang penuh kebusukan dan Orde Baru yang tampil sebagai pahlawan.
Dalam konteks orde ini, pembunuhan dan kekerasan massal terhadap rakyat pasca G30S/1965 bagi Orba adalah bagian dari tugas “meluruskan” kekuasaan Orla yang dianggap bobrok. Sayangnya, sejarah tidak mencatat bahwa peristiwa itu seharusnya dimaknai sebagai awal kekuasaan Orba yang dikonstruksi atas dasar kekerasan terhadap rakyat.
Kedua, ancaman secara simbolistik bagi kekuatan-kekuatan masyarakat yang dianggap berseberangan dengan penguasa. Artinya, secara tidak langsung rezim Orba memberikan sinyal bahwa kelompok-kelompok penentangnya jika tidak dapat dikendalikan oleh pemerintah akan bernasib buruk sebagaimana nasib kaum komunis.
Setelah rezim Orba tumbang, pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, peringatan yang semula disebut Hari Kesaktian Pancasila diganti dengan Peringatan Tragedi Nasional. Pada masa itu, pemerintah tak lagi mengeksploitasi komunis sebagai dalang tragedi tetapi justru membuka kesempatan adanya rekonsiliasi nasional. Hanya saja, sebagian besar masyarakat masih menampakkan resistensinya dengan menolak keras keinginan Gus Dur tersebut.
Bagaimana dengan situasi masa pemerintahan Megawati? Megawati secara personal memiliki keterkaitan sejarah dengan peristiwa G30S/1965, tragedi politik yang kemudian menumbangkan bapaknya dari kursi presiden. Bahkan sampai saat ini pun masih ada sebagian masyarakat yang berpandangan bahwa Bung Karno terlibat dalam peristiwa itu.
Terlepas apakah peringatan itu berubah dalam arti substanstif atau tidak (di masa Orba peringatan itu menjadi reproduksi legitimasi sedang di masa Gus Dur menjadi ruang ekspresi kebebasan dan demokrasi), peristiwa G30S/1965 tetap menjadi diskursus menarik.
Pertama, konstruksi sejarah sebagai pijakan bagi masyarakat dan generasi baru bangsa dalam menapak masa depan. Penafsiran tunggal terhadap sejarah inilah yang menjadikan narasi sejarah bangsa kita terasa linier dan penuh dengan glorifikasi terhadap penguasa Orba. Sementara, sisi gelap yang pernah menjadi napas hidup sebagian rakyat tidak pernah mengalami exposure secara utuh. Kalau toh mendapat sorotan, bagian yang diungkap itu hanya sebatas kesadisan dan kekerasan dari kaum komunis.
Kedua, agenda rekonsiliasi nasional sebagai upaya memupus kontinuitas dendam politik dan darah di antara golongan dalam masyarakat. Ketiga, keberadaan PKI serta ajaran Marxisme, Komunisme dan aliran kiri lainnya dalam konstruksi dan kemasyarakatan di Indonesia.
Kebangkitan Kaum Kiri
Bagi generasi yang tidak pernah mengenal komunisme secara utuh, pemahaman mengenai ideologi itu tidak jauh bergeser dari propaganda politik Orba. Bagi mereka, wajah komunisme dan marxisme menjadi seperti ajaran yang dipenuhi kesadisan, tak bermoral dan anti Tuhan. Karena itu, keterbukaan dan kesediaan pemerintahan Presiden Wahid untuk menerima kembali pelarian politik PKI serta mencabut ketetapan MPRS tentang Pelarangan ajaran Marxisme-Leninisme, mendapat kritikan tajam dari masyarakat.
Masyarakat yang menolak itu dapat dikategorikan menjadi beberapa kelompok. Pertama, kelompok Islam kanan. Golongan ini merupakan komunitas politik yang merepresentasikan diri sebagai kekuatan “Islam”. Dalam sejarahnya merupakan “lawan politik laten” dari kaum komunis dan kekuatan kiri lainnya.Kekhawatiran ini didasari oleh kepentingan politik dan ideologi yang berhadapan secara diametral dengan gerakan kiri dan warisan trauma pertentangan politik dengan kaum komunis pada zaman pergerakan sampai akhir kekuasaan Orba.
Kedua, faksi dalam tentara yang diduga dapat berperan dalam penghancuran PKI dan pembunuhan massal di tahun 1965. Tentara sangat menyadari bahwa keterlibatannya dalam penghancuran PKI dan kekuatan kiri lainnya telah menumbuhkan trauma kolektif bagi para korban dan keturunannya. Apalagi kebijakan rezim Orba, yang didominasi oleh tentara, terhadap masyarakat yang dianggap terlibat G30S/1965 sangat diskriminatif. Kenyataan itu sangat memberikan peluang bagi tumbuhnya dendam dan kebencian yang menahun terhadap tentara.
Ketiga, golongan masyarakat yang diuntungkan kebijakan pemerintahan Orba (khususnya kebijakan politik dan ekonomi yang sepenuhnya berkiblat ke Barat dan mengintegrasikan diri dalam jaringan kapitalisme global). Kekhawatiran itu didasari oleh ketakutan akan hilangnya keuntungan yang selama ini diperoleh karena kedekatan dengan kekuasaan dan penguasaannya terhadap akses-akses ekonomi. Dalam konteks bangkitnya komunisme dan kekuatan kiri lainnya akan “mengancam” keberadaannya yang mapan.
Disinilah pentingnya merekonstruksi sejarah yang pernah di alami bangsa ini. Kepahitan masa lalu tidaklayak dijadikan sebagai pembenar untuk menyikapi sejarah dengan ketidakjujuran dan memanipulasi. Justru dengan kejujuran terhadap sejarah, entah itu baik atau buruk, generasi baru akan mendapatkan pembelajaran terhadap perjalanan bangsanya secara dewasa. Dan ini akan terkait dengan agenda rekonsilisasi nasional yang selama ini selalu didengung-dengungkan para elite politik.
Sejalan dengan maknanya, rekonsiliasi ini tentu tidak hanya melibatkan elemen Orba dan kekuatan pembaru yang kini sedang berkuasa, tapi juga mencakup elemen masyarakat pra-Orba maupun semasa Orba yang mengalami pezaliman oleh penguasa pada masanya. Dengan demikian, rekonsiliasi ini nantinya akan melibatkan seluruh elemen masyarakat baik itu dari golongan agama, kaum nasionalis maupun golongan yang dianggap kiri.
Rekonsiliasi akan terasa sangat penting maknanya jika dikaitkan dengan perilaku primitif zaman feodal dulu yang terus dibawa dalam kehidupan politik saat ini. Dendam yang tidak pernah selesai, konflik kekuasaan yang kental dengan aroma darah, merupakan warna politik bangsa kita pada masa silam sejak zaman Singosari hingga Mataram.
Meski demikian, saat inipun kita masih sering melihat bagaimana para elite politik mempraktekkan “warisan” masa lalu itu dalam perilaku politiknya. Ketika satu golongan tersingkir dari kekuasaan, secara keseluruhan orang-orang yang dianggap bagian dari golongan itu tanpa pandang bulu akan disingkirkan. Dengan demikian, pergulatan wacana mengenai G30S/1965 semestinya dibangun dalam konteks membentuk karakter, budaya politik dan kemasyarakatan yang lebih beradab serta semangat rekonsiliasi.
Counter Discourse
Terlepas dari benar-tidaknya kebangkitan komunisme atau kekuatan kiri lainnya, melihat kenyataan perkembangan politik ekonomi dunia yang semakin mengintegrasi dalam jaringan kapitalisme global, kita memerlukan sebuah wacana alternatif untuk mengimbangi fenomena itu.
Paradigma rekolonisasi negara-negara Selatan oleh negara Utara (negara-negara industri majui) yang dikomandoi AS semakin menggejala. Globalisasi merupakan alat baru rekolonisasi. Kenyataan itu bukan tanpa dasar, David C. Korten dalam “When Corporations Rule the World” telah mengemukakan bahwa dunia kini tengah mengalami disintegrasi sosial dan lingkungan yang semakin cepat. Fenomena yang terungkap dalam fakta membengkaknya kemiskinan, pengangguran, kejahatan, keluarga berantakan dan degradasi lingkungan. Sebuah akibat dari perburuan pertumbuhan ekonomi yang tanpa henti sebagai prinsip pemersatu kebijakan politik.
Kebijakan yang telah mempercepat kemerosotan regenerasi ekosistem dan kerusakan ikatan sosial yang memelihara kehidupan manusia, sekaligus mempertajam persaingan memperebutkan sumber daya antara si kaya dan si miskin. Fakta lebih lanjut adalah, berubahnya sistem otonomi global yang telah mengubah korporasi dan institusi keuangan yang tadinya bermanfaat menjadi alat tirani pasar yang memperluas jangkauannya ke seluruh dunia.
Melihat kenyataan itu, kita bisa melihat terdapat hubungan yang signifikan antara kebangkitan kaum kiri dan perlunya wacana alternatif sebagai penyeimbang atas hegemoni wacana kapitalisme global. Signifikansi itu terdapat pada spirit revolusioner dari ideologi yang dianut oleh kaum kiri, entah itu komunis, marxis maupun aliran kiri lainnya, yang dapat berfungsi sebagai counter discurse terhadap pergeseran pendulum dunia ke arah tata kolonialisme korporat.
Bangsa yang tengah diterpa kesulitan ekonomi dan sedang memasuki transisi demokrasi ini, memerlukan rasa saling peduli dan toleransi terhadap keberagaman sebagai landasan penting bagi masyarakat sehat yang dicita-citakan. Dalam konteks ini, kebangkitan kaum kiri dapat dimaknai sebagai revitasisasi spirit pemikiran kritis atas wacana kapitalisme global yang tengah mencengkeram eksistensi dan kedaulatan kita sebagai bangsa, serta kemakmuran dan keadilan yang kita cita-citakan bersama.
 
This website was created for free with Own-Free-Website.com. Would you also like to have your own website?
Sign up for free